Krisis iklim adalah isu mendesak yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia. Perubahan pola cuaca ekstrem, kekeringan panjang, banjir bandang, dan kerusakan ekosistem terjadi semakin sering. Menurut laporan IPCC 2023, suhu global meningkat 1,1°C dibanding era pra-industri. Kondisi ini menimbulkan risiko besar terhadap ketahanan pangan, air bersih, dan stabilitas sosial. Salah satu kelompok paling terdampak adalah perempuan.
Ketimpangan struktural menyebabkan perempuan menanggung beban lebih berat dalam menghadapi perubahan iklim. Mereka tidak hanya rentan, tetapi juga memiliki peran kunci dalam solusi. Di sinilah ekofeminisme hadir sebagai pendekatan yang menyatukan perjuangan hak perempuan dan pelestarian lingkungan.
Perempuan dan Lingkungan: Hubungan yang Tak Terpisahkan
Perempuan, terutama di daerah pedesaan, memiliki hubungan langsung dengan alam dalam aktivitas sehari-hari. Mereka bertanggung jawab atas penyediaan air, makanan, dan energi domestik. Ketika sumber daya ini terancam akibat krisis iklim, perempuan menjadi kelompok pertama yang terkena dampaknya.
Data UN Women menunjukkan 80% dari populasi terdampak bencana iklim adalah perempuan dan anak-anak. Saat banjir melanda, mereka kehilangan rumah, akses kesehatan, serta pendidikan. Ketika kekeringan terjadi, perempuan harus berjalan lebih jauh untuk mencari air. Risiko kekerasan berbasis gender pun meningkat selama proses evakuasi dan pengungsian.
Dampak krisis iklim pada perempuan mencakup aspek fisik, psikologis, dan ekonomi. Beban kerja ganda meningkat. Pendapatan menurun. Akses terhadap lahan produktif menyempit. Semua itu menambah kerentanan sosial-ekonomi perempuan di tengah kondisi lingkungan yang kian memburuk.
Ekofeminisme: Menghubungkan Gender dan Ekologi
Ekofeminisme adalah pendekatan yang memandang kerusakan lingkungan dan penindasan terhadap perempuan sebagai akibat dari sistem patriarki dan eksploitasi (Sumber: https://dlhindonesia.id/). Konsep ini dikenalkan oleh Françoise d’Eaubonne pada tahun 1974. Dalam kerangka ini, perempuan tidak hanya diposisikan sebagai korban, tetapi sebagai agen perubahan.
Pendekatan ini menolak cara pandang dominan yang memisahkan manusia dari alam. Ekofeminisme melihat keterkaitan antara tubuh perempuan dan bumi yang sama-sama dieksploitasi oleh sistem yang sama. Perempuan dianggap memiliki peran alami dalam merawat dan melindungi kehidupan.
Ekofeminisme mengedepankan harmoni antara manusia dan alam, serta menolak dominasi dan kontrol atas alam maupun atas tubuh perempuan. Gerakan ini memperkuat posisi perempuan dalam pengambilan keputusan lingkungan dan menyoroti pentingnya pengetahuan lokal dalam adaptasi iklim.
Contoh konkret muncul dari India melalui gerakan Chipko. Dalam aksi ini, perempuan memeluk pohon untuk mencegah pembalakan liar. Mereka mempertaruhkan nyawa demi menjaga hutan yang menjadi sumber kehidupan komunitas mereka. Di Indonesia, Aleta Baun memimpin perempuan Mollo menjaga tanah adat dari penambangan. Mereka menenun di lokasi tambang sebagai bentuk protes damai yang kuat dan simbolis.
Mengapa Suara Perempuan Dibutuhkan dalam Krisis Iklim?
Memiliki Akses Pengetahuan Kontekstual
Perempuan memahami lingkungan dari pengalaman sehari-hari. Mereka tahu siklus tanam, sumber air, dan cara konservasi sederhana. Pengetahuan ini diwariskan lintas generasi dan relevan dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim lokal.Menjalankan Peran Domestik dan Sosial Sekaligus
Selain mengurus rumah tangga, perempuan aktif dalam komunitas. Mereka mengelola kelompok tani, koperasi, dan inisiatif daur ulang. Kombinasi peran domestik dan sosial memperkuat daya pengaruh perempuan dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan sosial.Berpotensi Menjadi Inovator Lokal
Banyak inovasi hijau lahir dari tangan perempuan, seperti biogas rumah tangga, pertanian organik, dan bank sampah. Mereka menciptakan solusi yang murah, efisien, dan sesuai kebutuhan lokal. Inovasi ini memperkuat ketahanan keluarga sekaligus menjaga lingkungan.Menghadirkan Perspektif Inklusif dalam Kebijakan
Ketika perempuan terlibat dalam kebijakan lingkungan, pendekatannya lebih holistik. Mereka memperhitungkan kebutuhan kelompok rentan, keberlanjutan, dan keadilan sosial secara bersamaan. Kebijakan yang inklusif dapat mendorong program yang lebih efektif dan tepat sasaran.
Menuju Kebijakan Lingkungan Berbasis Gender
Kebijakan lingkungan harus mengakui dan mendukung kontribusi perempuan. Prinsip keadilan iklim gender menekankan partisipasi perempuan dalam seluruh tahap: perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program lingkungan.
Hal yang dapat dilakukan:
Libatkan perempuan dalam musyawarah desa soal lingkungan. Pastikan mereka punya suara dalam keputusan tentang lahan, air, dan hutan.
Buka akses pelatihan teknologi ramah lingkungan untuk perempuan. Pelatihan ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial dan geografis mereka.
Fasilitasi kredit mikro bagi usaha hijau perempuan. Akses pembiayaan akan mempercepat lahirnya inovasi dan kemandirian ekonomi.
Bangun sistem pelaporan dampak iklim berbasis gender. Data ini penting untuk merancang intervensi yang akurat dan adil.
Lembaga seperti DLH Indonesia dapat menjadi mitra penting. Mereka menyediakan panduan kebijakan, data lingkungan, serta mendukung kampanye edukatif yang menyasar perempuan dan anak.
Menerapkan Gaya Hidup Ekofeminisme
Gaya hidup ekofeminisme mengajarkan bahwa pilihan harian memengaruhi lingkungan dan masyarakat (Sumber: https://dlhindonesia.id/). Perempuan dapat memimpin perubahan ini melalui tindakan nyata:
Memilih produk lokal yang berkelanjutan. Hal ini membantu ekonomi lokal dan mengurangi jejak karbon distribusi.
Mengelola limbah rumah tangga secara mandiri. Langkah sederhana seperti memilah sampah atau membuat kompos dapat mengurangi volume sampah kota.
Mengurangi penggunaan energi fosil. Perempuan bisa mendorong penggunaan energi surya atau menghemat listrik di rumah.
Menanam tanaman obat dan pangan di pekarangan. Ini memperkuat ketahanan pangan keluarga dan menumbuhkan kemandirian.
Mengajarkan anak tentang pentingnya menjaga bumi. Edukasi sejak dini akan menumbuhkan generasi sadar lingkungan.
Gerakan ini menumbuhkan solidaritas antarperempuan dan membangun budaya hidup yang ramah bumi. Praktik ini memperkuat nilai-nilai komunitas dan keadilan ekologis dari bawah.
Ekofeminisme bukan hanya teori, tetapi juga strategi transformatif. Perempuan telah membuktikan kapasitasnya dalam merawat bumi dan komunitas. Krisis iklim tidak akan terselesaikan tanpa mendengar suara mereka.
Pendekatan ekofeminisme mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mengintegrasikan keadilan gender dalam agenda iklim. Ketika perempuan diberdayakan, ekosistem pun ikut pulih. Itulah fondasi keberlanjutan sejati.
Tidak ada komentar